Di Madinah ada seorang wanita cantik shalihah lagi bertakwa. Bila malam
mulai merayap menuju tengahnya, ia senantiasa bangkit dari tidurnya
untuk shalat malam dan bermunajat kepada Allah. Tidak peduli waktu itu
musim panas ataupun musim dingin, karena disitulah letak kebahagiaan dan
ketentramannya. Yakni pada saat dia khusyu berdoa, merendah diri kepada
sang Pencipta, dan berpasrah akan hidup dan matinya hanya kepada-Nya.
Dia juga amat rajin berpuasa, meski sedang bepergian. Wajahnya yang
cantik makin bersinar oleh cahaya iman dan ketulusan hatinya.
Suatu hari datanglah seorang lelaki untuk meminangnya, konon ia termasuk
lelaki yang taat dalam beribadah. Setelah shalat istiharah akhirnya ia
menerima pinangan tersebut. Sebagaimana adat kebiasaan setempat, upacara
pernikahan dimulai pukul dua belas malam hingga adzan subuh. Namun
wanita itu justru meminta selesai akad nikah jam dua belas tepat, ia
harus berada di rumah suaminya. Hanya ibunya yang mengetahui rahasia
itu. Semua orang tajub. Pihak keluarganya sendiri berusaha membujuk
wanita itu agar merubah pendiriannya, namun wanita itu tetap pada
keinginannya, bahkan ia bersikeras akan membatalkan pernikahan tersebut
jika persyaratannya ditolak. Akhirnya walau dengan bersungut pihak
keluarga pria menyetujui permintaan sang gadis.
Waktu terus berlalu, tibalah saat yang dinantikan oleh kedua mempelai.
Saat yang penuh arti dan mendebarkan bagi siapapun yang akan memulai
hidup baru. Saat itu pukul sembilan malam. Doa ‘Barakallahu laka wa
baaraka alaika wa jamaa bainakuma fii khairin mengalir dari para
undangan buat sepasang pengantin baru. Pengantin wanita terlihat begitu
cantik. Saat sang suami menemui terpancarlah cahaya dan sinar wudhu dari
wajahnya. Duhai wanita yang lebih cantik dari rembulan, sungguh
beruntung wahai engkau lelaki, mendapatkan seorang istri yang demikian
suci, beriman dan shalihah.
Jam mulai mendekati angka dua belas, sesuai perjanjian saat sang suami
akan membawa istri ke rumahnya. Sang suami memegang tangan istrinya
sambil berkendara, diiringi ragam perasaan yang bercampur baur menuju
rumah baru harapan mereka. Terutama harapan sang istri untuk menjalani
kehidupan yang penuh dengan keikhlasan dan ketakwaan kepada Allah.
Setibanya disana, sang istri meminta ijin suaminya untuk memasuki kamar
mereka. Kamar yang ia rindukan untuk membangung mimpi-mimpinya. Dimana
di kamar itu ibadah akan ditegakkan dan menjadi tempat dimana ia dan
suaminya melaksanakan shalat dan ibadah secara bersama-sama.
Pandangannya menyisir seluruh ruangan. Tersenyum diiringi pandangan sang
suami mengawasi dirinya.
Senyumnya seketika memudar, hatinya begitu tercekat, bola matanya yang
bening tertumbuk pada sebatang mandolin yang tergeletak di sudut kamar.
Wanita itu nyaris tak percaya. Ini nyatakah atau hanya fatamorgana? Ya
Allah, itu nyanyian? Oh bukan, itu adalah alat musik. Pikirannya
tiba-tiba menjadi kacau. Bagaimanakah sesungguhnya kebenaran ucapan
orang tentang lelaki yang kini telah menjadi suaminya.
Oh...segala angan-angannya menjadi hampa, sungguh ia amat terluka.
Hampir saja air matanya tumpah. Ia berulang kali mengucap istighfar,
Alhamdulillah ‘ala kulli halin. "Ya bagaimanapun yang dihadapi
alhamdulillah. Hanya Allah yang Maha Mengetahui segala kegaiban."
Ia menatap suaminya dengan wajah merah karena rasa malu dan sedih, serta
setumpuk rasa kekhawatiran menyelubung. "Ya Allah, aku harus kuat dan
tabah, sikap baik kepada suami adalah jalan hidupku." Kata wanita itu
lirih di lubuk hatinya. Wanita itu berharap, Allah akan memberikan
hidayah kepada suaminya melalui tangannya.
Mereka mulai terlibat perbincangan, meski masih dibaluti rasa enggan,
malu bercampur bahagia. Waktu terus berlalu hingga malam hampir habis.
Sang suami bak tersihir oleh pesona kecantikan sang istri. Ia bergumam
dalam hati, "Saat ia sudah berganti pakaian, sungguh kecantikannya
semakin berkilau. Tak pernah kubayangkan ada wanita secantik ini di
dunia ini." Saat tiba sepertiga malam terakhir, Allah taala mengirimkan
rasa kantuk pada suaminya. Dia tak mampu lagi bertahan, akhirnya ia pun
tertidur lelap. Hembusan nafasnya begitu teratur. Sang istri segera
menyelimutinya dengan selimut tebal, lalu mengecup keningnya dengan
lembut. Setelah itu ia segera terdorong rasa rindu kepada mushalla-nya
dan bergegas menuju tempat ibadahnya dengan hati melayang.
Sang suami menuturkan, "Entah kenapa aku begitu mengantuk, padahal
sebelumnya aku betul-betul ingin begadang. Belum pernah aku tertidur
sepulas ini. Sampai akhirnya aku mendapati istriku tidak lagi
disampingku. Aku bangkit dengan mata masih mengantuk untuk mencari
istriku. Mungkin ia malu sehingga memilih tidur di kamar lain. Aku
segera membuka pintu kamar sebelah. Gelap, sepi tak ada suara sama
sekali. Aku berjalan perlahan khawatir membangunkannya. Kulihat wajah
bersinar di tengah kegelapan, keindahan yang ajaib dan menggetarkan
jiwaku. Bukan keindahan fisik, karena ia tengah berada di peraduan
ibadahnya. Ya Allah, sungguh ia tidak meninggalkan shalat malamnya
termasuk di malam pengantin. Kupertajam penglihatanku. Ia rukuk, sujud
dan membaca ayat-ayat panjang. Ia rukuk dan sujud lama sekali. Ia
berdiri di hadapan Rabbnya dengan kedua tangan terangkat. Sungguh
pemandangan terindah yang pernah kusaksikan. Ia amat cantik dalam
kekhusyuannya, lebih cantik dari saat memakai pakaian pengantin dan
pakaian tidurnya. Sungguh kini aku betul-betul mencintainya, dengan
seluruh jiwa ragaku."
Seusai shalat ia memandang ke arah suaminya. Tangannya dengan lembut
memegang tangan suaminya dan membelai rambutnya. Masya Allah, sungguh luar biasa wanita ini. Kecintaannya pada sang
suami, tak menghilangkan kecintaannya kepada kekasih pertamanya, yakni
ibadah. Ya, ibadah kepada Allah, Rabb yang menjadi kekasihnya. Hingga
bulan kedepan wanita itu terus melakukan kebiasaannya, sementara sang
suami menghabiskan malam-malamnya dengan begadang, memainkan alat-alat
musik yang tak ubahnya begadang dan bersenang-senang. Ia membuka pintu
dengan perlahan dan mendengar bacaan Al-Quran yang demikian syahdu
menggugah hati. Dengan perlahan dan hati-hati ia memasuki kamar sebelah.
Gelap dan sunyi, ia pertajam penglihatannya dan melihat istrinya tengah
berdoa. Ia mendekatinya dengan lembut tapi cepat. Angin sepoi-sepoi
membelai wajah sang istri. Ya Allah, perasaan laki-laki itu bagai
terguyur. Apalagi saat mendengar istrinya berdoa sambil menangis.
Curahan air matanya bagaikan butiran mutiara yang menghiasi wajah
cantiknya.
Tubuh lelaki itu bergetar hebat, kemana selama ini ia pergi,
meninggalkan istri yang penuh cinta kasih? Sungguh jauh berbeda dengan
istrinya, antara jiwa yang bergelimang dosa dengan jiwa gemerlap di
taman kenikmatan, di hadapan Rabbnya.
Lelaki itu menangis, air matanya tak mampu tertahan. Sesaat kemudian
adzan subuh. Lelaki itu memohon ampun atas dosa-dosanya selama ini, ia
lantas menunaikan shalat subuh dengan kehusyuan yang belum pernah
dilakukan seumur hidupnya.
Inilah buah dari doa wanita shalihah yang selalu memohonkan kebaikan untuk sang suami, sang pendamping hidup.
Beberapa tahun kemudian, segala wujud pertobatan lelaki itu mengalir
dalam bentuk ceramah, khutbah, dan nasihat yang tersampaikan oleh
lisannya. Ya lelaki itu kini telah menjadi dai besar di kota Madinah.
Memang benar, wanita shalihah adalah HARTA KARUN TAK TERNILAI DENGAN UANG, yang amat berharga dan
termahal bagi seorang lelaki bertakwa. Bagi seorang suami, istri
shalihah merupakan permata hidupnya yang tak ternilai dan "bukanlah permata
biasa".Masha Allah :)
Semoga bermanfaat. :)
(Dari kumpulan kisah nyata, Abdur Razak bin Al Mubarak)